PBS (Pengangguran Bertitle Sarjana)

Makin banyak saja sarjana lulusan perguruan tinggi di Indonesia jadi pengangguran


Orang mengatakan bahwa mashasiswa adalah kaum intelektual. Anggapan yang demikian sebenarnya tidaklah salah, karena mereka adalah para calon sarjana yang tentunya memiliki pendidikan yang lebih tinggi dibanding mereka yang hanya lulusan SMA/MA atau SMK. Namun ironisnya, banyak sekali kita menjumpai beberapa pengangguran yang ternyata telah menyandang gelar sarjana. Bukan karena mereka malas untuk bekerja. Mereka itu terpaksa mengganggur, hanya karena belum berhasil lolos dalam seleksi PNS atau pekerjaan bergensi lainnya.
Dengan bermodal IPK dengan nilai tinggi, mereka menganggap itu cukup untuk modal melamar pekerjaan. Sewaktu duduk di bangku kuliah yang mereka dipikirkan hanya belajar, belajar dan belajar. Paham semacam ini sering disebut sebagai ‘study oriented’, artinya mereka hanya berusaha keras untuk memperoleh IPK tinggi dan tak mau terlibat dalam berbagai kegiatan kampus maupun organisasi kemahasiswaan sama sekali. Mereka lupa, bahwa selain memiliki IPK yang bagus hal lain yang harus dimiliki adalah skill dan ketrampilan. Akibatnya, mereka hanya bisa menganggur saja saat tak berhasil lolos dari seleksi pekerjaan.
  Jika kondisi ini bisa terjadi, lalu siapa yang patut disalahkan? Padatnya jam perkuliahan dan banyaknya tugas-tugas kuliah yang diberikan dosen membuat para mahasiswa tak punya cukup waktu untuk mengikuti kegiatan kemahasiswaan. Belum lagi sarana dan prasarana penunjang diluar keperluan akademik juga menjadikan mahasiswa tak mampu mengembangkan minat, potensi dan talenta yang mereka miliki. Banyak sekali kita jumpai kampus atau perguruan tinggi yang sama sekali tidak memberikan dukungan pada kegiatan mahasiswa diluar masalah akademik. Mereka sama sekali tak perduli pada nasib mahasiswanya setelah lulus menjadi sarjana. Mereka sudah cukup berbangga hati, jika mahasiswa atau sarjana lulusannya memiliki IPK tinggi.
Mungkin keadaan seperti itulah yang wajib dipersalahkan. Namun anggapan seperti tersebut tidak seratus persen benar. Karena ternyata banyak sekali mahasiswa yang memang hanya memperdulikan nilai, dan sama sekali tak peduli pada kegiatan apapun juga.
Jika mengacu pada slogan-slogan yang selama ini dikumandangkan bahwa mahasiswa adalah agent of change, kenyataannya ini adalah sebuah kondisi yang sangat bertolak belakang. Karena ternyata banyak sekali mahasiswa dan sarjana yang hanya mampu mengikuti system yang saat ini terjadi. Tak peduli benar atau salah, yang terpenting mereka bisa selamat. Walhasil, mereka pun akhirnya terpaksa menganggur dan tak mampu membuat sebuah perubahan.    
Saat ini bangsa Indonesia membutuhkan sarjana yang tidak mudah menyerah, inovatif, dan kreatif. Bangsa ini tidak butuh lulusan perguruan tinggi yang mudah menyerah dan loyo. Yang dibutuhkan bangsa ini adalah orang-orang yang mampu membuka peluang pekerjaan, bukan hanya bagi mereka pribadi tetapi bagi orang-orang disekitar mereka. Orang-orang yang mampu berbuat semacam itu barulah layak disebut agent of change.
Sebagai lembaga pendidikan tinggi yang mencetak sarjana dan kaum professional, sudah selayaknya kampus atau universitas mulai juga memikirkan bagaimana mereka dapat membekali mahasiswanya dengan berbagai pendidikan ketrampilan yang bermanfaat, sesuai dengan minat dan kemampuan masing-masing. Kampus atau universitas bersangkutan harus mampu mencetak sarjana yang juga mampu memiliki kemampuan enterprenur dan leadership. Dengan demikian mereka mampu bersaing dengan sarjana dari perguruan tinggi laiinnya dan dapat tetap survive jika ternyata tidak berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai PNS atau bidang kerja bergensi lainnya.
Selama ini beberapa perguruan tinggi memang telah mebuka unit-unit kegiatan mahasiswa (UKM) dan organisasi kemahasiswaan yang lain, seperti BEM dan HMJ. Sayangnya hingga saat ini masih banyak kita temui kurangnya perhatian dari lembaga. Mereka jarang, bahkan tak pernah sedikitpun memberikan perhatian pada kegiatan-kegiatan mahasiswa. Sarana dan prasarana penunjang bagi kegiatan mahasiswa juga sering tak terpenuhi. Bahkan dana khusus kegiatan mahasiswa yang selama ini sudah dianggarkan juga susah dicairkan. Akibatnya mahasiswa harus susah payah untuk melakukan kegiatan mereka.
Adanya oknum-oknum mahasiswa yang sering menyelewengkan dana organisasi, ternyata menjadi salah satu penyebab susahnya kampus mengeluarkan dana. Adanyanya sikap kesukuan atau organisasi tertentu yang hanya mementingkan kelompok tertentu, juga menjadi penyebab lesu-nya kegiatan mahasiswa. Dua hal ini juga menjadi penyebab banyaknya mahasiswa yang lebih suka memilih pasif dan tak mau tahu pada kegiatan mahasiswa yang sedang diadakan.
Sebagai mahasiswa, usudah selayaknya kita membekali diri dengan berbagai ketrampilan yang bermanfaat, selain IPK yang tinggi. Dengan begitu kita tidak akan disebut sebagai PENGANGGURAN BERTITLE SARJANA. Karena sebutan seperti ini tentu akan sangat memalukan, baik untuk pribadi maupun lembaga. Semoga!!!

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More